“A’? aa’ kenapa? Kok lemes begitu?” ujarnya sambil menghidangkan makan sahur. Aku tersenyum
“Gak apa-apa sayang. Mungkin a’ kurang enak badan aja.”
“Aa’ sakit y?” suaranya khawatir. Ia mendekatiku dan duduk di sampingku. Mengamati wajahku dengan perasaan khawatir.
“Gak apa-apa sayang. A’ gak apa-apa kok. Nanti juga baikan.”
“Istirahat aja ya a’. Nantia de’ telpon kantornya kasih kabar kalo a’ sakit”
“Gak usah De’. A’ masih sehat kok.”
“Tapi a’...”
“Gak apa-apa De’...Gak usah khawatir ya..” aku tersenyum padanya.
Aku mengangkat horn telpon dan menghubunginya lagi. Lama sekali tidak ada yang mengangkat. Aku coba sekali kagi, masih sama. Tak ada respon. Apa dia marah mendengar kejujuranku?. Aku coba sekali lagi, masih tak ada yang mengangkat. Akhirnya aku mengambil handphone dan mengiriminya SMS.
“De’ knp telpon a’ g diangkt?Ade’ nysel y nkah ma a’?A’ mnt maf klo ade’ g brkenan. Tpi a’ cma mw jjur aj.A’ mnt maaf y...”
Ya Allah, aku minta petunjukmu. Aku memejamkan mata, menghela nafas dalam. “Ya Allah, inikah tantangan yang harus aku jalani untuk menggapai Ridlo-Mu di bulan suci ini”. Aku masih menggenggam handphone. Tidak ada balasan. Allah istriku benar-benar marah padaku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Aku pasrah tapi aku lega sudah bisa jujur padanya. “Ya Allah kuatkan aku..!”
“De’ kok sms a’ g dbls? Ade’ mrh y ma a’?A’ mmag bkn pak ustadz. A’ g bs jd sprt itu.A’ mnt maaf, ade’ mw g maafin aa’?dbls y De’...”
Sekali lagi aku mengirim sms pada istriku. Masih belum ada jawaban. Huffh....
*******
Aku berhenti di depan pintu rumah., urung mengetuk pintu. Astaghfirullah...aku harus bersikap bagaimana?. Aku mengangkat tangan mengetuk pintu rumah dan mengucap salam.
“Assalamualaikum...De’..”. aku mendengar sura langkah kaki istriku. Hatiku bergetar. Ia membuka pintu diam menunduk tidak menatapku sama sekali.
“Assalamualaikum....”. aku mengucap salam lagi.
“Waalaikum salam...”jawabnya lirih, nyaris tak terdengar. Aku menatapnya sejenak, berharap ia akan berkata lebih. Tapi ia berlalu tanpa mengatakan apa-apa.
********
Hingga sore, menjelang berbuka puasa istriku masih saja diam, akupun diam. Tidak ada satupun kata terlontar dari bibir kami berdua. Dewi menyiapkan menu berbuka puasa di meja makan. Kami berbuka puasa dalam diam.
“Apa harus aku yang mulai? Aku kan sudah pernah bilang kalau aku pendiam, gak bisa mengawali perbincangan...ayo ngomong De’. Bantu aa’ De’...” batinku. Ia masih bertahan dalam diamnya.
“Ade’ pamit ke masjid dulu, sholat tarawih” hanya itu satu-satunya kata yang ia ucapkan. Aku masih terdiam membiarkannya berlalu begitu saja.
“Ya Allah, kenapa harus seperti ini? Mampukah aku menjalani keadaan ini Ya Allah? Kami baru saja memulai perjalanan ini. Belum setapak kami melangkah menjalani kehidupan dalam bahtera suci ini. Ya Allah mungkinkah perjalanan ini akan akan berhenti smpai disini? Ya Allah tujukkan kepadaku yang terbaik.
********
Sehari, dua hari, kami masih berthan dalam diam. Aku tak tahu harus memulai dari mana. Tapi mau tidak mau, memang aku yang harus memulai.
Selepas tarawih kulihat istriku sedang santai menonton siaran berita Top 9 (Nine) News di MetroTV. Ia memang perempuan cerdas, pemikir, kritis, peduli lingkungan sekitar dan selalu ingin tahu. Aku mendekatinya....
“De’...” kusentuh pundaknya. Ia agak tersentak, menoleh lalu menggeser duduknya. Memberiku tempat untuk duduk.
“Aa’ mau ngomong...” ujarku. Ia menolehku sebentar.
“Ngomong aja, ade’ dengerin..” ia mematikan televisi.
“Aa’...mmm..A’ dulu....mmm....” Ya Allah sesulit inikah aku mengungkapkan semua ini dihadapannya? Kenapa tak semudah ketika aku mengatakan hal ini di telpon tiga hari yang lalu.
“De’....” ia menoleh lagi sebentar. “mm...seperti yang a’ bilang kemaren, A’ ini dulunya bukan orang baik. Kata orang sih aa’ itu gak bener. Suka mabuk, bergaul sama preman, jarang pulang ke rumah, cari makan di jalan.” Aku memulai percakapan. Istriku masih diam mendengarkan. Aku tidak menangkap ekspresinya.
“A’ mau bilang, mau jujur... sebelum ada ade’ a’ sering gonta ganti cewek, kalau dihitung mungkin lebih dari 20 cewek pernah jadi pacar aa’. Hari ini putus, besok sudah dapat lagi yang baru, begitu.” Akui diam sejenak. Istriku menunduk, menghela nafas.
“Begitu seterusnya selama 4 tahun. Sejak a’ lulus SMA sampai selesai kuliah a’ seperti itu. Sampai suatu hari aa’ ketemu akhwat, berjilbab lebar, dia minta aa’ untuk berhenti minum. Dia sering main ke rumah, padahal rumah berantakan banget. Dia gak risih liat keadaan a’ kayak gini.”
“Sejak itu a’ sering bergaul sama mereka. A’ bilang sama mereka a’ mau baik, a’ mau berubah tapi a’ malu. Mereka bilang kenapa Yuda harus malu sama temen-temen Yuda, tapi Yuda gak malu sama Allah.......”
Istriku mengusap matanya, mungkin ia menangis. Aku menatapnya sebentar kemudian melanjutkan ceritaku tentang perubahan yang terjadi dalam hidupku.
“.............Akhirnya sedikit demi sedikit aa’ bisa berubah, belajar islam sama mereka. Menata lagi hidup aa’ dari awal, mencoba membenahi kesalahan-kesalahan a’ yang banyak banget”. Istriku masih bergeming.
“De’ mungkin Cuma itu aja yang mau aa’ omongin sama ade’. Kalo ade’ belum bisa nerima gak apa-apa. Terserah ade, maunya ade’ gimana a’ terima. Sekarang ade’ bebas memilih. Mungkin ade’ mau a’ mence....”. istriku sontak menoleh,meletakkan ujung jari telunjuknya dibibirku.
“Aa’ denger.... jangan pernah ucapkan kata-kata itu. Ade’ takut di bensi Allah”. Aku menatapnya dalam. “Ade menikah dengan Yuda yang sekarang, bukan Yuda yang dulu. Selama aa’ terus mau berusaha untuk lebih baik lagi, semua itu jadi gak penting buat ade’.”
Ada air menetes dari kedua pelupuk matanya.
“Ade’ sayang a’ tulus. Kita sama-sama berusaha untuk lebih baik ya. Ini bulan suci, gak baik putus asa dan pesimis. Kita benahi semuanya bersama-sama ya”. Dewi tersenyum, getir.
“A’ minta maaf baru bisa bilang sekarang. Aa’ minta maaf juga gak bisa jadi pak ustadz seperti yang ade’ harapkan. Ade’ pengen banget kan punya pesantren?! Tapi a’ belum bisa penuhi itu. A’ masih belum siap... A’ bukan siapa-siapa,gak punya apa-apa. A’ Cuma punya hati yang mencintai ade’ dengan tulus. A’ g mau ade kecewa.....”
“Sst... ade’ gak cari suami pak ustadz. Soal pesantren nanti bisa kita bicarakan lagi kapan-kapan. Kalau Allah menghendaki, insyaAllah nanti kita bisa mendirikan dan mengelola pesantren. Gak usah ngomong itu lagi ya a’. Ade’ ikhlas...”
“Tapi De’, a’ masih belum bisa lebih baik dari sekarang”
“gak apa-apa, nanti ade’ bantu”. Istriku tersenyum dan merebahkan kepalanya di pundakku. Perlahan aku merangkulnya.
“Terima kasih ya sayang....” Aku mencium keningnya dan memeluknya erat, erat sekali. Ia tersenyum manis sekali.
Perempuan ini, perempuan istimewa yang kau kirim untukku Ya Allah. Jangan pernah pisahkan aku darinya. Aku ingin menggapai ridlo-Mu bersamanya. Semoga bulan suci ini menjadi pengantar kami untuk menjadi insan yang mulia. Menjadi sejoli yang akan mencapai syurga-Mu dengan cinta. Amien......