Gimana jadinya kalo PESMI pindah ya?
Pesantren Mahasisiwi alias PESMI sudah sangat melekat di hati para penghuninya. Terutama bagi mahasiswi semester V yang sudah dua tahun hidup di bawah atapnya. Sedangkan untuk mahasiswi semester III meski hanya dalam waktu satu tahun tinggal di dalamnya, itu cukup memberi makna. Sebenarnya bangunan Pesmi bukanlah bangunan yang tergolong mewah. Yang membuat para mahasantri berat untuk meninggalkannya adalah suasana yang tenang, sejuk serta jauh dari keramaian dan yang paling penting adalah dekat dengan kelas dan masjid. Jadi, kalau hujan maupun jam istirahat mereka tidak perlu terlantar. Karena lebih baik pulang ke asrama dengan menempuh beberapa langkah saja. Letak Pesmi yang cukup strategis sebagai wahana pembelajaran memberikan kontrol pribadi yang sangat bagus. Selain letaknya yang bersebelahan dengan gedung milik fakultas usuluddin dan syariah serta tarbiyah, keberadaan masjid ulul Albab juga menambah indah suasana. Pemandangan yang menyejukkan hati ketika para mahasantri berbondong-bondong pergi ke masjid saat adzan berkumandang dengan balutan mukena putih berkibaran tertiup angin, cermin seorang figur muslimah sejati.
Kehidupan antara satu anggota dengan anggota yang lainnya terjalin harmonis seperti sebuah keluarga. Memiliki ikatan batin yang tidak diragukan. Keceriaan, tawa dan gurauan mewarnai bangunan tua itu sebelum terdengar keputusan yang sangat berat untuk diterima namun itu harus dilaksanakan dan dipatuhi. Yaitu sebuah Surat keputusan bahwa Pesmi akan dibangun dan penghuninya akan dipindahkoskan. Seperti ada petir menyambar-nyambar dan kilat bergemuruh dalam hati kami. Ada rasa sedih dan takut kehilangan yang menyeruak luar biasa hebat. Beberapa waktu, tidak ada lagi canda dan tawa. Yang ada hanyalah bayang-bayang kenangan yang sebentar lagi akan menjadi puzzle.
Pada bulan Juli 2008, perstiwa menyedihkan itupun terjadi. Para petugas bangunan datang dan menyuruh kami segera mengeluarkan barang-barang karena waktuu telah habis. Karena ini bersamaan dengan pengambilan IP maka bagi mahasantri yang ingin menginap disediakan tempat yakni di gedung Transit Lantai II dan di Gedung Pembelajaran Lantai II. Tetapi itu hanya sementara karena pihak pesantren telah memilih tempat di empat lokasi yaitu Mojopahit, Masykuriah, rumah bapak Masrukhan dan di gang VIII. Apa yang dikhawatirkan ternyata terjadi. Mahasantri tidak ditempatkan dalam satu lokasi. Lantaran tidak adanya satu tempat yang mampu menampung seluruh mahasantri.
Mojopahit dijadikan sebagai sentral kegiatan pesantren. Mulai dari intelektual, bahasa, kesenian, koperasi dan departemen lainnya karena seluruh mahasantri baru ASPK dan THI ditempatkan disana. Ini juga merupakan salah satu upaya peningkata kualitas mahasantri agar pribadi sebagai seorang santri tidak hilang begitu saja terkikis pergaulan. Namun di sisi lain, antara satu tempat dengan tempat lainnya mengalami miss communication. Intensitas pertemuan yang kurang dirasa menjadi salah satu unsur merenggangnya hubungan kekeluargaan.
Peristiwa semacam ini sudah tentu memiliki hikmah tersendiri yang harus dicari supaya tidak menjadi hamba yang mengeluh. Bukankah bertemu dan berpisah adalah sunnatullah?. Andai itu ujian semoga Allah terangi jalan kesabaran. Amin