
pertama, kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah indonesia.
Kedoea, kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa indonesia.
ketiga. kami poetera dan poeteri indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa indonesia
Begitulah bunyi sumpah pemuda yang diambil dari rumusan hasil kongres yang diumumkan pada tanggal 28 oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop.
Selama tiga ratus lima puluh tahun, zamrud khatulistiwa terjajah. Mungkin karena pesonanya yang memukau hingga membuat iri setiap mata yang memandang serta ingin memiliki. Salah satu contohnya adalah Negeri kincir angin yang sering disebut sebagai negeri wong puteh. Obsesinya untuk memiliki Indonesia dibuktikan dengan jalan yang jauh dari perikemanusiaan. Bukannya menjaga agar senantiasa asri dan damai., mereka justru mengobok-obok negeri ini. Tetapi, sebagai bangsa yang memiliki putra-putra yang berjiwa ksatria, pertiwi tidak pantas berkecil hati. Hanya dengan modal semangat dan juga peralatan terbatas (bahkan mungkin dengan peralatan itu musuh tidak akan musnah) putra bangsa mampu memukul mundur penjajah sehingga mereka pergi dari tanah air.
Surabaya, adalah salah satu saksi perjuangan para pahlawan melawan Belanda. Karena begitu hebatnya serangan bangsa Indonesia terhadap Belanda, pada tanggal 10 Nopember maka hari itu diperingati sebagai hari pahlawan. Mereka (Belanda) memberi julukan kota Surabaya sebagai Neraka. Mungkinkah itu menjadi suatu kenyataan?
Masa penjajahan Belanda telah berakhir lama. Semangat para pahlawan Surabaya diabadikan dalam sebuah tugu PAHLAWAN. Tugu ini terletak di depan gedung Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Indonesia memang telah merdeka, tapi bukan berarti perjuangan telah berhenti sampai di sini. Masih banyak hal yang harus dibenahi. Seyogyanya arek Suroboyo mewarisi darah kepahlawan para pejuang bukan berlari menghindar dan melupakan segala jasa dan jerih payah para pahlawan. Seperti yang terjadi saat ini, generasi muda cenderung berfoya-foya dan malas membanting tulang untuk mencapai tujuannya. Dalihnya, sekarang bukan saatnya hidup susah dan menderita seperti orang-orang dahulu. Bukankah zaman telah merdeka?. Sebuah pemikiran yang sempit.
Mereka bangga atas prestasi yang diraih oleh pejuang, namun apa arti sebuah kemerdekaan bila berhenti lalu terjajah kembali hanya karena sebuah kelalaian karena perasaan bahwa hal itu telah berlalu?. Bukankah penjajah di era ini lebih ganas dan mematikan?. Sebuah bukti kongkrit, banyak generasi muda yang terjebak arus hedonisme, menghabiskan waktu senggang di berbagai tempat yang menawarkan sejuta kebohongan berkedok kemewahan. Lagi-lagi tunas bangsa tertipu.
Seandainya arek-arek Suroboyo kembali menggali makna dari peristiwa 10 Nopember dan menjadikannya sebagai cerminan, tentu sebutan kota pahlawan bukan sekedar sejarah, tapi akan menjadi sebuah kenyataan bahwa Surabaya merupakan neraka bagi mereka yang bermodal gengsi belaka, karena kota ini hanyalah untuk para pahlawan yang berjuang demi cita-citanya. Kenapa kita harus lari dan bersembunyi dibalik besarnya nama kota Pahlawan? Bukankah kita bisa membuktikan pada dunia bahwa kota ini benar-benar memiliki pahlawan-pahlawan baru yang berdedikasi tinggi untuk keutuhan Negara Indonesia? Selamat berjuang! Dan terima kasih uuntuk para pahlawan.