Peran Strategis Politik Kiai di Hari Pahlawan

Diposting oleh alaikbuletin on 04.35

Peran Strategis Politik Kiai di Hari Pahlawan
Oleh: Miftahul khoir
Tanggal 10 November merupakan salah satu dari hari bersejarah yang sangat penting dalam perjalanan bangsa Indonesia sejak lebih dari setengah abad yang lalu. Peringatan Hari Pahlawan merupakan kesempatan bagi seluruh komponen bangsa, bukan saja untuk mengenang jasa-jasa dan pengorbanan para pejuang yang tak terhitung jumlahnya demi memperjuangkan tegaknya Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 tetapi juga merupakan kesempatan yang baik untuk selalu memupuk rasa kesadaran berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, kita akan ingat kembali bahwa Republik Indonesia yang sekarang ini adalah hasil perjuangan dalam jangka waktu yang lama dari banyak orang yang terdiri dari berbagai suku, agama, keturunan ras, dan berbagai macam pandangan politik. Dengan merenungkan, secara mendalam, berbagai tahap perjuangan bangsa itu, maka akan makin jelaslah kiranya bagi kita semua, bahwa Republik Indonesia ini adalah benar-benar milik kita bersama bukan milik perorangan ataupun golongan tertentu.

Bila kita membuka kembali lembaran sejarah bangsa Indonesia, maka kita akan menemukan bukti-bukti bahwa para Kiai memiliki peran penting dalam mengawal dan mempertahankan eksistensi Negara ini. Perjuangan para pahlawan pada 10 november 1945 yang terpusat di Surabaya tidak dapat dipisahkan dari peranan para Kiai dan santri. Hal tersebut dicatat oleh M.C. Ricklefs (1991) bahwa ribuan kiai dan santri di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober 1945, dipimpin oleh Rois Akbar NU Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ary mendeklarasikan suatu resolusi yang kemudian populer dengan sebutan “resolusi jihad” yang isinya antara lain mempertahankan Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945.
Karena resolusi jihad itu merupakan fatwa tentang kewajiban perang melawan kaum imprealis, maka seluruh masyarakat Islam yang jumlahnya mayoritas sangat setia terhadap fatwa tersebut dan membentuk laskar perang. Para sejarawan baik nasional maupun lokal mengakui pengaruh resolusi jihad sangat besar dalam melakukan perlawanan terhadap kaum imprealis.
Dua minggu setelah dikumandangkan resolusi jihad, tepatnya 10 November 1945, meletuslah perang antara pasukan Inggris dengan pribumi selama tiga minggu. Para sejarawan menganggap peristiwa ini sebagai perang terbesar sepanjang sejarah Nusantara apalagi dalam peperangan ini para pejuang Indonesia berhasil mengalahkan Inggris yang notabene sebagai pemenang Perang Dunia II. Peristiwa inilah yang kemudian di abadikan oleh masyarakat Indonesia sebagai Hari Pahlawan.
Bagi warga pesantren dan warga NU pada umumnya, peringatan Resolusi Jihad yang diadakan setiap tahun adalah upaya kongkrit untuk menegaskan kembali posisinya sebagai warga yang harus tetap perduli terhadap nasib bangsanya dan harus terus berikhtiar bekerja yang terbaik dalam mengawal bangsa ini.
Dari fakta sejarah tersebut jelaslah bahwa para Kiai memiliki peranan strategis dalam perpolitikan di Indonesia khususnya di jawa timur. Namun hal itu dilakukan semata-mata untuk mempertahankan eksistensi Negara Indonesia karena konsep yang dipegang teguh adalah “cinta tanah air merupakan sebagian dari iman”. Perjuangan para kiai tersebut sama sekali bukan didasari oleh masalah keduniaan melainkan dorongan agama.
Dalam konteks jawa timur saat ini, ternyata para kiai tampil kembali dalam dunia politik. Hal ini ditunjukkan dengan mendukung salah satu calon gubernur Jatim. Kurang lebih 500 Kiai memberikan tausyiah untuk mendukung Cagub no. 5, sementara sebagian Kiai yang lain juga memberikan dukungan pada Cagub no. 1 walaupun tidak secara ekslisit. Terlepas dari segala motifasi yang mendasarinya, para kiai seharusnya tetap bersikap arif dan mengayomi ummat. Perjuangan dan jihad yang harus selalu dilakukan adalah mengawal kebijakan pemerintah untuk memperbaiki nasib masyarakat miskin, pemberantasan korupsi, dan keharusan menjaga eksistensi NKRI.
Sementara itu perjuangan dan jihad yang harus dilakukan oleh masyarakat sendiri adalah upaya merubah nasibnya dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Sebagian bentuk jihad tersebut harus mewarnai paradigma jihad masyarakat yang selama ini dipahami secara sempit. Jihad harus diarahkan pada perjuangan mempertahankan eksistensi diri sebagai umat dan sebagai bangsa.
Berjihad untuk memperbaiki nasib masyarakat Indonesia dan kondisi kehidupan kebangsaan bukan hanya untuk membangun bangsa dan upaya mensejahterahkan masyarakat. Lebih dari itu ikhtiar tersebut sebagai upaya mengangkat harkat dan martabat bangsa di dunia internasional. Bangsa ini harus diselamatkan dari segala predikat yang buruk, seperti, negara terkorup, miskin, instabilitas, teroris dan segudang predikat lainnya yang memarginalkan posisi Indonesia di dunia internasional. Hal itu bisa terwujud bila seluruh komponen bangsa memiliki I’tikad baik dan berusaha untuk melakukan jihad dan perjuangan menuju kehidupan yang lebih baik dimasa depan.