Ibadah Ramadhan; Puasa Antara Ibadah Personal dan Kebjikan Sosial

Diposting oleh alaikbuletin on 06.27

Ibadah Ramadhan; Puasa Antara Ibadah Personal dan Kebjikan Sosial
By; Ghin Hisma s

Mulai 1 september 2008, ritual puasa satu bulan berlangsung kembali. puasa sendiri merupakan ritual paling tua sepanjang sejarah keyakinan keagamaan manusia. Allah swt berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Selama sebulan penuh, kaum Muslim baik itu rakyat ataupun pejabat, kaum papa ataupun penguasa siapapun dan apapun status sosial atau jabatannya bersama-sama menunaikan ibadah puasa.

Secara syar'i, puasa (as-Shiyam) adalah perbuatan menahan diri dari lapar dan dahaga serta segala sesuatu yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam Matahari. Oleh karenanya, jangan heran jika atmosfer bulan yang oleh baginda dalam khutbahnya menyebutkan bahwa Ramadhan adalah bulan Allah SWT yang datang membawa berkah, rahmah dan maghfirah. Bulan yang paling mulia disisi Allah. Hari-hariya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-mlamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam-demi jamnya adalah yang paling utama ini terkesan berbeda dari bulan-bulan lainnya, hal ini ditandai dengan bertambah semangatnya kaum muslim memenuhi mesjid dan musholla, berbagai kegiatan keagamaan digelar, Al-qur'an didengungkan di mana-mana, warung makan tutup di siang hari, tampak baliho dan spanduk di berbagai sudut tempat, aksi razia PSK digelar, bahkan tayangan televisi-pun didominasi program khas serba-serbi bulan Ramadhan.
Jika ditilik lebih dalam mengenai hakikat Puasa tentu puasa tidak cukup jika dipahami hanya sebagai tanggung jawab personal, lebih-lebih jikalau hanya dimaknai melalui simbol-simbol keagamaan yang meaningless tentu tidak akan bermakna kecuali sepertia apa yang disinyalir dalam hadits Rasulullah SAW : “laisa lahu min shiamihi illa ju'i wa al-'athsi” tidaklah diperoleh dari puasanya itu, kecuali lapar dan haus (H.R Turmudzi) hal ini apa yang disebut oleh Muhammad Guntur Romli dalam koran harian kompas sebagi; pseudo-religius atau al-tadayyun al-za'if (keberagamaan yang palsu), menurutnya bahwa gejala pseudo-religius ini memiliki beberapa pola diantaranya keberagaman yang dibangun untuk tujuan “penyucian atau pengampunan diri” motif keberagamaan ini adalah demi kemashlahatan pribadi agar terbebas dari dosa. Dan Jika hakikat dari ajaran agama adalah tujuan dari syari'at (maqashid al-syari'at), yaitu terwujudnya kesalehan dan kemaslahatan sosial, maka adalah keniscayaan bahwa ibadah puasa harus pula ditransformasikan ke dalam kebajikan sosial. Secara hakiki, belum berpuasa orang yang masih melakukan korupsi,merampas hak kebendaan orang lain , membiarkan orang lain dalam kesengsaraan, memfitnah dan banyak dosa-dosa sosial lainnya. artinya tatkala seseorang berpuasa sebenarnya mempunyai tanggung jawab untuk tidak melakukan dosa sosial akan tetapi sebaliknya yaitu spirit kebajikan umum, untuk senantasa menjaga hak sesama dan turut serta merasakan penderitaan orang lain. Dengan demikian, berpuasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga merupakan refleksi teologis untuk membumikan amal shaleh dan kasih sayang dalam tindak laku. Demikian dituturkan tokoh intelektual Muda NU Zuhairi Misrawi. Walhasil, puasa yang mulanya merupakan implementasi dari rukun agama semata, kemudian menjadi sebuah laku sosial yang sangat konstruktif. Semoga kita mampu mengamalkannya. amien